posting ini saya ambil dari blogg saya terdahulu.kali ini saya memperkenalkan situs peninggalan minang kabau sewaktu perang padri dahulu.oke nih lebih rinci nya..
Guguak
Sigandang adalah sebuah bukit yang terletak antara nagari
Pandaisikek, Kotolaweh, Aie Angek dan Koto Baru,tepat nya di
jorong Kayu Tanduak.Sekarang
bukit itu masih ada dapat dilihat, ditumbuhi pohon-pohanan dan
sedikit ladang penduduk,yang ditanami berbagai macam sayuran oleh suatu Kaum/Suku nan banamo SIGANDANG, yg
mempunyai sbagian besar tanah guguak/bukit tsb.Didekat jalan yang
menghubungkan jalan raya Padang-Bukittinggi dengan nagari Koto
Laweh. Di sekeliling bukit itu adalah perswahan yang luas dan
terbuka kearah Barat dan Selatan terutama, juga ke arah Utara
dan Timur.tepat di bawah bukit tsb terdapat sebuah rawa ataw di kenal
juga dgn nama bancah oleh pendu2k sekitar,,,bancah tersebut merupakan
legenda rakyat Kayu tanduak,yg menceritakan seorang anak gadis yg
durhaka dan di kutuk oleh oleh ibunya sehingga dia ditelan rawa ataw
banncah tersebut...sehinnga nama rawa/bancah tersebut diberi nama BANCAH PUTRI JANIK...sesuai nama si gadis tersebut.
Bukit ini pada masa perang Padri dahulu adalah tempat sebuah benteng Belanda yang cukup penting dalam menghadapai perjuangan rakyat Minangkabau melawan pendudukan Belanda.
Letak bukit itu memang srategis. Meskipun tidak terlalu tinggi, kira-kira sama tinggi dengan nagari Koto Baru, dan lebih rendah dari Aie Angek dan Kayu Tanduak, tetapi lebih tinggi dari nagari Pandaisikek dan Kotolaweh, dan dapat mengawasi kedua nagari tempat kelahiran kedua tokoh pejuang Padri yang terkenal itu,Haji Miskin dan Tuanku Pamansiangan, dari jarak yang cukup dekat.
Berikut ini excerpts yang menyinggung Guguak Sigandang dan Pandaisikek dari buku "Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang" karangan Rusli Amran. Diantaranya catatan seorang Belanda bernama Nuhuys van Burgst (hal. 424), seorang doktor dalam ilmu hukum, yang datang ke Sumatra Barat 3 tahun sesudah berlangsungnya perang Padri dan menulis buku tentang perjalanannya itu tiga tahun kemudian yaitu tahun 1827.
Dalam halaman 432 diceritakan sebuah peristiwa di Pandaisikek.
Suatu ketika dusun ini membantu Belanda lawan Pidari, tetapi dapat dikalahkan dan direbut oleh orang Pidari. Semenjak itu Pandaisikek diam-diam bekerjasama dengan kaum Pidari. Belanda tidak mengetahui bahwa dusun itu telah di tangan musuh. Suatu malam sepasukan kecil tentara Belanda di bawah seorang perwira, sampai di sana. Tentara kecil ini dengan mudah dapat mereka habiskan, tetapi hanya dipersilahkan saja meninggalkan tempat itu. Begitu juga apa yang terjadi dengan seorang letnan bernama Van Oeksen. Dia kesasar masuk sebuah kampung yang telah memihak Pidari. Namun musuh tidak membinasakannya, hanya diusir saja.
Tetapi yang terpenting ialah yang dialami Nuhuys pribadi. Bersama pasukan kecil, dia mengunjungi Guguksigandang (disebut Goegiet Digandon). Tidak jauh terletak Pandaisikek yang dikuasai Pidari. Di sana ada pertahanan cukup kuat dengan beberapa pucuk meriam. Tetapi tidak pernah menyerang atau menembaki Guguksigandang. Begitu juga sewaktu Nuhuys berada di sana. Tiba-tiba empat pasukan Pidari bersenjata lengkap mendekati kedudukan Belanda. Mereka berhenti dan tidak memperlihatkan sikap bermusuhan. Walaupun dilarang oleh semua perwiranya, Nuhuys mendekati mereka sambil melemparkan pistol dan pedangnya. Ternyata mereka memang tidak ingin menyerang. Kalau mereka betul-betul ingin menyerang, Guguksigandang sudah lama dapat mereka tundukkan.
Dari laporan seorang yang berkedudukan begitu penting dan terpercaya, benarlah apa yang dikataka De Stuers bahwa orang-orang Pidari pada mulanya sama sekali tidak ingin berperang lawan Belanda. Gerakan Pidari adalah persoalana dalam negeri dan Belanda tidak mempunyai hak untuk ikut campur apalagi memasuki daerah Minangkabau yang belum pernah diduduki Belanda....
Apa yang disampaikan adalah bahwa penduduk Pandaisikek waktu itu mendukung gerakan Padri, dan bahwa gerakan Padri hanya bertujuan untuk memperbaiki kehidupan keagamaan maysarakat dan tidak ditujukan khusus untuk berperang melawan Belanda.
Biasanya kalau disebut Perang Padri yang digambarkan adalah perang golongan agama atau Padri melawan Belanda. Tetapi sebenarnya hanya orang Belandalah yang ingin berperang untuk menguasai Minangkabau.
Bukit ini pada masa perang Padri dahulu adalah tempat sebuah benteng Belanda yang cukup penting dalam menghadapai perjuangan rakyat Minangkabau melawan pendudukan Belanda.
Letak bukit itu memang srategis. Meskipun tidak terlalu tinggi, kira-kira sama tinggi dengan nagari Koto Baru, dan lebih rendah dari Aie Angek dan Kayu Tanduak, tetapi lebih tinggi dari nagari Pandaisikek dan Kotolaweh, dan dapat mengawasi kedua nagari tempat kelahiran kedua tokoh pejuang Padri yang terkenal itu,Haji Miskin dan Tuanku Pamansiangan, dari jarak yang cukup dekat.
Berikut ini excerpts yang menyinggung Guguak Sigandang dan Pandaisikek dari buku "Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang" karangan Rusli Amran. Diantaranya catatan seorang Belanda bernama Nuhuys van Burgst (hal. 424), seorang doktor dalam ilmu hukum, yang datang ke Sumatra Barat 3 tahun sesudah berlangsungnya perang Padri dan menulis buku tentang perjalanannya itu tiga tahun kemudian yaitu tahun 1827.
Dalam halaman 432 diceritakan sebuah peristiwa di Pandaisikek.
Suatu ketika dusun ini membantu Belanda lawan Pidari, tetapi dapat dikalahkan dan direbut oleh orang Pidari. Semenjak itu Pandaisikek diam-diam bekerjasama dengan kaum Pidari. Belanda tidak mengetahui bahwa dusun itu telah di tangan musuh. Suatu malam sepasukan kecil tentara Belanda di bawah seorang perwira, sampai di sana. Tentara kecil ini dengan mudah dapat mereka habiskan, tetapi hanya dipersilahkan saja meninggalkan tempat itu. Begitu juga apa yang terjadi dengan seorang letnan bernama Van Oeksen. Dia kesasar masuk sebuah kampung yang telah memihak Pidari. Namun musuh tidak membinasakannya, hanya diusir saja.
Tetapi yang terpenting ialah yang dialami Nuhuys pribadi. Bersama pasukan kecil, dia mengunjungi Guguksigandang (disebut Goegiet Digandon). Tidak jauh terletak Pandaisikek yang dikuasai Pidari. Di sana ada pertahanan cukup kuat dengan beberapa pucuk meriam. Tetapi tidak pernah menyerang atau menembaki Guguksigandang. Begitu juga sewaktu Nuhuys berada di sana. Tiba-tiba empat pasukan Pidari bersenjata lengkap mendekati kedudukan Belanda. Mereka berhenti dan tidak memperlihatkan sikap bermusuhan. Walaupun dilarang oleh semua perwiranya, Nuhuys mendekati mereka sambil melemparkan pistol dan pedangnya. Ternyata mereka memang tidak ingin menyerang. Kalau mereka betul-betul ingin menyerang, Guguksigandang sudah lama dapat mereka tundukkan.
Dari laporan seorang yang berkedudukan begitu penting dan terpercaya, benarlah apa yang dikataka De Stuers bahwa orang-orang Pidari pada mulanya sama sekali tidak ingin berperang lawan Belanda. Gerakan Pidari adalah persoalana dalam negeri dan Belanda tidak mempunyai hak untuk ikut campur apalagi memasuki daerah Minangkabau yang belum pernah diduduki Belanda....
Apa yang disampaikan adalah bahwa penduduk Pandaisikek waktu itu mendukung gerakan Padri, dan bahwa gerakan Padri hanya bertujuan untuk memperbaiki kehidupan keagamaan maysarakat dan tidak ditujukan khusus untuk berperang melawan Belanda.
Biasanya kalau disebut Perang Padri yang digambarkan adalah perang golongan agama atau Padri melawan Belanda. Tetapi sebenarnya hanya orang Belandalah yang ingin berperang untuk menguasai Minangkabau.
Meanarik bukan,memamang peninggalan ini tidak terlaluterkenal,jadi tidak banyak yg mengetahui tentang sejarah bukit ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar